Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, generasi Z yaitu generasi yang lahir diantara tahun 1997-2012 atau saat ini berada di usia 12-27 tahun saat ini adalah kelompok generasi terbesar di Indonesia dengan 27,94 % dari total penduduk atau 74,93 juta orang. Generasi ini hidup dalam era informasi yang penuh tantangan dan kebisingan. Kemajuan tekhnologi informasi bagaikan dua sisi mata pisau, yang mana disatu sisi dapat memudahkan dalam mengerjakan sesuatu, akan tetapi disisi yang lain bisa berbahaya ketika salah dalam menggunakan.
Ditengah maraknya perkembangan teknologi dan aksesibilitas informasi yang tak terbatas, isu-isu keagamaan seringkali menjadi bagian dari narasi yang kompleks. Dalam konteks ini, pentingnya moderasi beragama bagi kalangan Gen-Z menjadi semakin krusial. Pemahaman moderasi beragama bisa menjadikan bekal bagi Gen-Z dalam memiliki cara pandang beragama yang baik ditengah kencangnya arus informasi yang brutal.
Era digital seperti hari ini, sangat mudah sekali mendapatkan sekaligus menbagikan berbagai macam informasi baik itu pada platform media sosial, artikel, maupun portal berita online. Termasuk informasi yang berkaitan dengan keagamaan. Dalam satu sisi ini memberikan manfaat yang besar bagi siapapun yang bisa menerima maupun berbagi informasi dengan baik dan benar. Akan tetapi disisi lain, juga memberikan dampak buruk apabila dalam menerima atau berbagi informasi ini digunakan dengan kurang tepat, yaitu dengan pemahaman yang salah atau informasi yang tidak benar. Karena dalam memahmi agama tidak bisa ditelan dengan mentah atau hanya tekstual saja, sehingga seringkali dengan pemahaman agama yang salah ini menimbulkan cara pandang beragama yang berlebihan atau ekstrim.
Disinilah pentingnya pemahaman moderasi beragama untuk kalangan Gen-Z, agar supaya tidak mudah menyimpulkan dengan cepat terhadap informasi yang mereka dapatkan dari media digital khususnya informasi tentang keagamaan. Moderasi beragama sendiri menut Lukman Hakim Saifuddin secara ringkas adalah ikhtiar beragama yang tidak berlebihan, sehingga tak melampaui batas. Dalam keterbatasannya memahami sumber rujukan utama ajaran agama, yaitu kitab suci, manusia berpotensi untuk berada dalam posisinya yang terlalu di sudut, kelewat di pinggir sehingga mudah tergelincir. Posisi itu bisa berupa terlalu bertumpu pada teks tanpa memperhatikan konteks. (Lukman H Saifuddin: 2023).
Moderasi beragama ini sangatlah penting untuk dipahami dan di implementasikan oleh setiap umat beragama, karena moderasi beragama pada hakikatnya adalah esensi dari agama itu sendiri. Esensi daripada agama yang memberikan nilai kedamaian dan ketentraman dalam hidup. Terlebih untuk Gen-Z yang tumbuh di lingkungan yang semakin plural. Mereka memiliki akses ke berbagai keyakinan, tradisi, dari seluruh dunia. Dalam menghadapi pluralitas ini, moderasi beragama memainkan peran penting dalam memfasilitasi dialog antaragama yang harmonis. Ini membantu memecahkan stereotip dan menghargai keragaman, yang pada gilirannya memperkuat toleransi dan pemahaman lintas kepercayaan. Selain itu, terdapat juga beberapa urgensi pemahaman moderasi beragama untuk kalangan Gen-Z yang harus menjadi perhatian bersama. Mengingat Gen-Z adalah aset bangsa Indonesia yang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa ini dimasa yang akan dating.
Radikalisme dan Ekstrimisme Merongrong Gen-Z
Radikalisme dan ekstremisme merupakan masalah yang relevan dalam masyarakat kontemporer, dan Generasi Z tidak luput dari pengaruhnya. Perkembangan teknologi dan akses mudah terhadap informasi telah memungkinkan penyebaran ideologi radikal secara cepat dan luas, terutama melalui platform online. Salah satu alasan utama mengapa Generasi Z rentan terhadap radikalisme adalah karena mereka tumbuh dalam era digital yang sangat terhubung. Meskipun internet menyediakan akses ke informasi yang beragam, itu juga menjadi wadah bagi ideologi yang ekstrem dan konten yang merugikan. Kelompok-kelompok radikal sering memanfaatkan media sosial dan platform online lainnya untuk merekrut anggota baru, menyebarkan propaganda, dan mempromosikan gagasan-gagasan yang ekstrem.
Sebagaimana data yang di sampaikan oleh Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sepanjang 2023 ditemukan 2.670 konten mengandung intoleransi, radikalisme, dan terorisme di media sosial. Hal ini sangat berbahaya untuk generasi Z yang mayoritas menggunakan media sosial. Apabila mereka tidak mampu mengelola informasi secara teliti dan tanpa ada pengetahuan yang cukup, maka akan sangat mudah terpapar radikalisme.
Selain itu, masifnya penyebaran ideologi radikal di dunia pendidikan baik pendidikan dasar, menengah, bahkan perguruan tinggi. Hal ini terbukti berdasarkan data yang dirilis oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai radikalisme pada tahun 2018, ada sebanyak 57,03% guru baik di level SD dan SMP yang memiliki pandangan intoleran di Indonesia. Hal itu senada dengan data yang dirilis Lembaga Kajian Islam dan Perdmaian (LaKIP), data itu menyebutkan 48,9 % siswa mendukung adanya tindakan radikal.
Angka-angka tersebut tentu bukanlah angka yang tidak bisa disepelekan, melainkan menjadi bahan perhatian kita bersama, baik itu pemerintah, tokoh agama, pendidik, dan semua elemen masyarakat untuk memiliki kesadaran beragama yang moderat. Karena kalo angka-angka radikal ini dibiarkan akan mengganggu dan menjadi ancaman bagi ketutuhan bangsa dan ketentraman seluruh umat manusia.
Kemudian, hal yan lain yang membentuk manusia menjadi radikal adalah ketidakstabilan sosial, ketidakpuasan terhadap pemerintah, dan konflik politik juga dapat meningkatkan risiko radikalisasi di kalangan Generasi Z. Ketika individu merasa tidak puas dengan status quo atau merasa terpinggirkan, mereka mungkin lebih rentan terhadap propaganda radikal yang menawarkan solusi sederhana dan ideologi yang keras.
Membangun Identitas yang Seimbang
Bagi Gen-Z, mencari jati diri adalah bagian tak terpisahkan dari proses perkembangan mereka. Dalam konteks ini, moderasi beragama memungkinkan mereka untuk membangun identitas yang seimbang. Mereka dapat memilih dan menyintesis nilai-nilai dari agama mereka dengan nilai-nilai universal seperti keadilan, empati, dan perdamaian. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjadi penganut agama yang taat, tetapi juga warga dunia yang bertanggung jawab.
Generasi Z tumbuh dalam era di mana akses terhadap informasi sangat luas, yang berarti mereka terpapar pada berbagai pandangan dan keyakinan. Dalam konteks ini, moderasi beragama dapat membantu mereka mengembangkan pemahaman yang seimbang tentang agama dan spiritualitas, serta menghargai keberagaman dan toleransi. Dengan memahami nilai-nilai moderasi dalam konteks agama mereka, generasi Z dapat membangun identitas yang seimbang yang mencakup aspek spiritual, sosial, dan pribadi mereka.
Menyelaraskan Tradisi dengan Realitas Kontemporer
Perubahan sosial, teknologi, dan budaya yang cepat memicu pertanyaan-pertanyaan tentang relevansi tradisi agama dalam kehidupan modern. Moderasi beragama memungkinkan Gen-Z untuk menemukan keseimbangan antara tradisi dan realitas kontemporer. Mereka dapat menginterpretasikan ajaran agama mereka secara kontekstual, sehingga relevan dengan tantangan dan kesempatan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Memfasilitasi Pertumbuhan Spiritual
Di tengah segala kompleksitas dunia modern, banyak dari Gen-Z mencari makna dan tujuan dalam kehidupan mereka. Moderasi beragama memberikan kerangka yang memfasilitasi pertumbuhan spiritual tanpa mengorbankan akal sehat atau toleransi. Ini memungkinkan mereka untuk menemukan kedalaman dalam keyakinan mereka sambil tetap terbuka terhadap ide-ide dan pandangan yang berbeda.
Dalam era di mana informasi mengalir bebas dan opini-opini bertebaran, moderasi beragama menjadi pondasi yang krusial bagi Gen-Z untuk membangun masyarakat yang inklusif dan beradab. Dengan menghargai keragaman, mendorong dialog, dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, moderasi beragama bukan hanya menjadi pilihan yang bijak, tetapi juga suatu keharusan untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi semua.