Pengetahuan dan kebenaran mengalami perubahan seiring dengan era yang berkembang saat ini. Manusia yang terus berfikir untuk memenuhi kebutuhannya membuat pengetahuan menjadi lebih kompleks. Ilmu pengetahuan yang semakin berkembang dan didukung dengan kemajuan teknologi menjadikan apa yang disebut dengan kebenaran juga mengalami pergeseran menuju pasca-kebenaran (post-truth). Berbicara mengenai truth dan post truth tidak dapat dilepaskan dari perkembangan era modernism dan post-modernism. Era Modernsim yang berlangsung pada awal abad ke-18 dipandang sebagai satu langkah untuk menyebarkan paham rasionalitas Barat dalam setiap bidang kehidupan manusia dan tingkah laku sosial.
Untuk menunjukkan diri atas kepekaan isu ideologi di Era Post Truth, Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) menggelar acara Majelis Dialektika yang bertemakan “Krisis Ideologi dan Tantangan Pelajar NU di Era Post Truth”. Kegiatan ini dihadiri oleh para kader IPNU dari tingkat Anak Cabang sampai pengurus PW IPNU DIY.
Dalam sesi diskusi, salah satu peserta bernama Amrizal menuturkan pandangannya “era post truth ini dipengaruhi oleh retorika dan propaganda. Retorika adalah seni dan studi tentang berbicara serta menulis secara efektif dan persuasif, yang bertujuan untuk memengaruhi, mengoordinasikan, dan membangun makna melalui penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Sedangkan Propaganda adalah upaya komunikasi yang disengaja untuk memengaruhi opini, sikap, atau perilaku masyarakat agar mendukung suatu agenda, keyakinan, atau tujuan tertentu, yang seringkali dilakukan dengan menyajikan informasi secara selektif, bias, atau bahkan tidak objektif untuk menimbulkan respons emosional daripada rasional.
Situasi anak muda NU di era post-truth, di tengah gempuran media dan struktur masyarakat liberal-sekuler, bisa digambarkan sebagai sebuah tantangan kompleks namun sekaligus peluang untuk peneguhan identitas dan adaptasi kritis.
Sang narasumber, Abdul Rohman menyampaikan analisisnya lebih rinci sebagai berikut:
1. Dilema Post-Truth: Informasi vs. Emosi
Gempuran Media Sosial: Anak muda NU dihadapkan pada banjir informasi yang sering mengutamakan emotional appeal (mis: konten provokatif, narasi dikotomis) ketimbang fakta. Ini berpotensi mengaburkan nilai-nilai keilmuan NU yang menekankan sanad (rantai keilmuan) dan verifikasi (tahqiq).
Contoh: Isu-isu keagamaan (seperti fatwa atau isu khilafiyah) mudah terdistorsi oleh algoritma media yang lebih mendorong konten sensasional.
2. Tekanan Masyarakat Liberal-Sekuler
Individualisme vs. Komunitas: NU berbasis pada nilai komunal (jama’ah), sementara budaya liberal sekuler mengedepankan kebebasan individual. Anak muda NU kerap terjepit antara mempertahankan tradisi kolektif (seperti bahtsul masail, ziarah wali) dan tuntutan modernitas yang individualistik.
Sekularisasi Ruang Publik: Nilai-nilai agama (sepaerti kesopanan, batas gender) sering dianggap “privat” dalam masyarakat sekuler, sementara NU memiliki pandangan holistik tentang agama dalam kehidupan publik.
3. Strategi Adaptasi Anak Muda NU
a. Kritisisme Digital: Banyak anak muda NU mengembangkan literasi media berbasis nilai Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Misal:
Menggunakan platform NU Online atau kanal ulama kredibel (seperti Gus Baha’ di YouTube) sebagai filter informasi.
Membentuk komunitas diskusi online (halaqah digital) untuk klarifikasi hoaks.
b. Reinterpretasi Kontekstual:
Merumuskan respon terhadap isu liberal-sekuler (mis: LGBT, pluralisme) melalui pendekatan fiqh sosial ala KH Sahal Mahfudh, yang menggabungkan teks agama dengan realitas sosial.
Menguatkan tradisi “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (melestarikan tradisi baik + mengadopsi inovasi relevan).
4. Peluang di Tengah Tantangan
Jaringan Pesantren & Kampus: Anak muda NU memanfaatkan basis pesantren dan kampus (PMII, LTN NU) sebagai safe space untuk dialog kritis antara Islam, modernitas, dan nasionalisme.
Pendekatan Budaya: Menggunakan seni (musik, film, sastra) untuk menyuarakan nilai NU yang inklusif namun teologis, sebagai tandingan narasi radikal atau liberal ekstrem.
Keteladanan Figur: Tokoh muda NU seperti Gus Nadir (Haul) atau Yenny Wahid menjadi contoh keberhasilan merangkul modernitas tanpa kehilangan akar NU.
5. Ancaman yang Dihadapi
Polarisasi Internal: Terpecah antara kelompok puritan (anti-liberal) dan progresif (akomodatif) akibat paparan media yang berbeda.
Kooptasi Politik: Narasi post-truth rentan digunakan untuk kepentingan politik praktis yang menggerus independensi NU.
Erosi Tradisi Ilmu: Budaya instant di media sosial berpotensi melemahkan tradisi belajar mendalam (talaqqi, sorogan) yang menjadi fondasi NU.
Kesimpulan
Anak muda NU berada di persimpangan epistemologis:
Di satu sisi, mereka harus memfilter gempuran post-truth dengan menguatkan otoritas keilmuan NU (turats, ulama kredibel).
Di sisi lain, perlu dialog kreatif dengan nilai liberal-sekuler tanpa kehilangan prinsip (tawassuth, tasamuh, tawazun).
Kelangsungan NU sebagai “Islam moderat” di Indonesia akan sangat bergantung pada kemampuan generasi mudanya menjawab tantangan ini dengan pendekatan yang kontekstual, kritis, dan berakar pada khazanah ke-NU-an. Peran organisasi seperti GP Ansor, IPNU/PP, dan LTN NU menjadi krusial dalam membentuk roadmap adaptasi ini. (AbietS)



